Senin, 14 Maret 2011

Hormaaaat....Graaak!

HORMAAAAT…GRAKK!
Oleh: Dewi Wulansari

Jika ingat kejadian itu, aku dan teman-temanku akan tertawa terpingkal-pingkal. Kejadian itu adalah hal terkonyol yang dilakukan Pak Sarwidi guru Pembina pramukaku di waktu SMP.
Saat itu aku ikut dalam anggota parmuka inti. Setiap anggota inti diwajibkan untuk mengikuti Pelatihan Dasar menjelang LT 2 (lomba tingkat Kabupaten). Pembina Pramuka kami mengusulkan Perkemahan Batu Seribu sebagai tempat diadakannya Pelatihan Dasar itu, usul tersebut disetujui oleh semua anggota inti pramuka, termasuk diriku. Perkemahan Batu Seribu merupakan tempat yang cocok untuk kami melatih kekuatan fisik dan mental, selain memiliki pemandangan yang indah, Batu Seribu juga asyik dijadikan tempat out bond karena peralatan halang rintangnya sudah tersedia.
Akhirnya kami memilih hari Sabtu dan Minggu di minggu pertama bulan April pada tahun 1995 untuk menyelenggarakan Pelatihan Dasar. Dalam rangakaian acara tersebut, kakak-kakak kelas tiga sebagai panitianya, dan kami sebagai pesertanya. Yang kami ketahui Pelatihan Dasar tersebut bertujuan untuk menggodok dan menguji mental, fisik, dan kesolidan tim kami.
Kami diwajibkan berangkat dengan menggunakan sepeda, perjalanan kami tempuh selama kurang lebih 1,5 jam dengan sepeda. Selama perjalanan keberangkatan tersebut diselingi dengan pos-pos halang rintang, namun yang diuji bukan fisik tapi berupa materi pertanyaan-pertanyaan tentang kepramukaan dan pengetahuan umum.
Sesampainya di sana, kami disuruh langsung mendirikan tenda dalam waktu 5 menit. Jika tidak berhasil maka kami akan diberi sangsi, biasanya kami akan dihukum scot jump atau push up 20 kali. Pelatihan di sini menuntut kami untuk berdisiplin dan bertindak cepat, bagiku pelatihan ini sama seperti latihan militer, salah sedikit saja akan dihukum.
Masing-masing regu diberi jadwal acara dan materi. Dan setiap session biasanya ketua regu dikumpulkan dulu untuk diberi pengarahan, baru setelah itu masing-masing ketua regu mengarahkan anak buahnya. Kami terdiri dari 4 regu, 2 regu putra dan 2 regu putri. Regu kami bernama Melati Sari Buana, nama regu inti pramuka di SMPku, sedang regu putranya bernama Elang Sangga Buana.
Oh ya…hampir lupa, pramuka selalu berkaitan dengan peluit dan kami harus hafal setiap peluit yang dibunyikan, karena setiap peluit memiliki tanda dan perintah yang berbeda, jika peluit berbunyi panjang dan tanpa henti, itu tandanya semua peserta harus berkumpul. Jika peluit berbunyi pendek-pendek itu tandanya perintah hanya untuk ketua regu yang berkumpul. Hal itu menyebabkan kami sangat peka dengan bunyi peluit, selain sebagai perintah, peluit juga dipakai dalam sandi (morse).
Pelatihan itu membuat kami tegang, bosan dan stress karena terlalu banyaknya tekanan dari panitia. Apalagi kelompokku yang sering mendapat hukuman dari panitia.
Di Minggu pagi hari, pukul 05.30 WIB kami dikejutkan dengan bunyi peluit panjang. Kami semua terkejut dan kelabakan karena ada yang masih tidur, mandi, masak, makan, tapi karena itu sebuah perintah dengan berbagai keadaan kami pun berlari menuju panggilan peluit tersebut. Saat itu benar-benar kacau, tidak ada yang mengenakan baju pramuka yang lengkap dan benar, ada yang masih pakai baju tidur dengan membawa tongkat dan topi pramuka, ada yang memakai sandal jepit, ada yang rambutnya awut-awutan tak bersisir, yang lebih konyol ada yang berlari sambil tidur.
Dalam hatiku aku tertawa melihat itu semua, namun tertawaku kusimpan saja, karena tertawa itu mahal di pelatihan ini. Kami harus serius dan berdisiplin tinggi. Pada saat itu aku berpikir dan kemudian berbisik kepada temanku, Eni.
“En, ada apa? Kan belum saatnya apel pagi? Kenapa kita dikumpulkan?” Bisikku kepada Eni.
“Ststststtststts…tunggu saja perintahnya, aku juga tidak tahu. Lihat! Pak Sarwidi yang mengumpulkan kita, berarti memang ada instruksi penting.” Jawab Eni setengah berbisik kepadaku.
“Perhatian semuanya…Siaaaappppp…Grakkkk!” Instruksi pertama Pak Sarwidi dengan suara lantangnya untuk merapikan barisan kami dengan matanya yang melotot memperhatikan kami satu per satu.
Kami semua ketakutan, Pak Sarwidi sangat terkenal galak dan disiplin, kesalahan kecil saja bisa membuat kami terkena scot jump maupun lari mengelilingi lapangan 50 kali. Belum lagi kata-kata pedasnya yang menusuk hati. Kami semua segera merapikan barisan kami dan bersiap mendengar dan menjalankan instruksi berikutnya.
“Kepada…Sang Merah Putih…Hormaaaaaaaaattttttt….Grakkkkkkkk…!”
Segera tangan kami, kami gerakkan untuk memberi hormat ke arah tiang bendera yang berada di depan kami. Namun setelah kami semua melihat ke atas, suasana berubah menjadi gaduh dan tak terkendali. Meledaklah tawa kami semua.
Wakakkakkakakkakakak….wuaha…ha….ha….ha…..
Wakakakkakakkakakaak…wuaha…ha…ha…ha….
Wakakkakkakakkakakak…wuaha…ha….ha…ha…
Ternyata yang kami hormati bukan bendera Merah Putih, tapi celana dalam Pak Warsidi yang berwarna merah dan putih. Sungguh hal terkonyol dan tergokil yang pernah dilakukan oleh seorang Pembina. Pak Warsidi pun ikut tertawa bersama kami dan berkata kepada kami.
“Itu hadiah buat orang serius…hati-hati dengan orang serius! Wuaha…ha…ha….”
Semenjak saat itu, kami menganggap dan melihat beliau sebagai sosok yang berbeda, dan akhirnya kami menjadi dekat dengan beliau. Beliau Pembina tebaik kami yang mengantarkan regu pramuka inti sekolah kami juara sampai tingkat propinsi dan membuat kami mengenal indahnya tertawa.
Sejak saat itu juga aku selalu illfil jika melihat celana dalam yang dijemur. Namun, dibalik itu semua ada sebuah pelajaran yang berharga yang kudapat dan dijelaskan oleh Pak Warsidi, bahwa maksud dari hormat kepada celana merah putih itu adalah kita harus menjaga dan menghormati kehormatan bangsa dan diri kita sendiri, sehingga kita akan dihormati oleh orang dan bangsa lain. Nek yang terakhir ini agak improvasi sich…boleh disambungkan, boleh tidak…ha…ha….

Dengan tulisan ini aku mendapatkan juara favorit Lomba Cerita Lucu Statisfine Sekolah Tinggi Menulis Jogja.

Kultur Literasi

Kampus
12 Maret 2011
Kultur Literasi Mahasiswa

* Oleh Dewi Wulansari

UPAYA meningkatkan mutu pendidikan saat ini terus digalakkan. Namun sering terjadi kontradiksi antara harapan dan kenyataan. Kemajuan teknologi dan modernisasi semestinya meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi ternyata mutu pendidikan malah turun. Kualitas pendidikan di negeri ini belakangan jauh tertinggal dari negara-negara tetangga.

Melihat survei Times Higher Education Supplement (THES) 2006, perguruan tinggi Indonesia baru bisa menjebol deretan 250 yang diwakili Universitas Indonesia (UI) — di bawah prestasi Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) pada urutan ke-185. Tahun 2007, menurut survei THES dari 3.000 unversitas di dunia, ITB baru berada pada urutan 927 sekaligus jadi perguruan tinggi top di Indonesia.

Mutu rendah pendidikan dipengaruhi antara lain oleh kultur literasi yang rendah di kalangan mahasiswa. Mahasiswa penyumbang terbesar kultur literasi di negara kita. Namun seiring perjalanan waktu, tradisi membaca mahasiswa beralih ke tradisi lisan. Mahasiswa kini cenderung mencari informasi melalui media elektronik. Mahasiswa lebih suka mendapat informasi yang “dibacakan”, berlaku sebagai “pembaca pasif” yang dengan tenang mengunyah renyah segala persepsi yang dikemukakan televisi. Belum lagi budaya nongkrong di kafe, mal, nonton film makin meminggirkan mahasiswa dari tradisi membaca.

Fenomena itu disebut Ignas Kleden sebagai kelisanan sekunder. Budaya kelisanan sekunder menggambarkan kemampuan baca-tulis tak terlalu dibutuhkan karena sumber informasi lebih bersifat audiovisual.
Mahasiswa sebagai sumber daya manusia terdidik dan terpelajar seharusnya lebih unggul sebagai inisiator, motivator, dan kreator. Dan, usaha meningkatkan pendidikan berkualitas berawal dari sumber daya manusia yang berilmu dan mampu menyerap setiap informasi yang berkembang. Itu semua diperoleh melalui membaca.
Literasi Literasi merupakan istilah yang memiliki banyak turunan, sesuai dengan subjek. Literasi antara lain memiliki turunan literasi media, literasi teknologi, literasi komputer, literasi politik, new literacy studies. Literasi semula mengacu ke kemampuan membaca dan menulis, tetapi kini definisi itu tak mencukupi. Apalagi jika dikontekskan denggan teknologi tinggi yang menjadi ciri tahun 2000-an. Jadi standar literasi pun beragam, sesuai yang mendefinisikan, tergantung pada banyak faktor yang memengaruhi, misalnya masyarakat, fasilitas, kebutuhan, dan fungsinya.

Amerika Serikat, misalnya, menetapkan tiga standar area literasi bagi kaum dewasa muda. Pertama, literasi prosa yang berhubungan dengan mambaca dan kemampuan menafsirkan. Kedua, literasi dokumen yang mensyaratkan mampu mengidentifikasi dan menggunakan informasi dalam beragam bentuk dokumen. Ketiga, literasi kuantitatif yang melibatkan penggunaan angka pada isi informasi pada barang cetakan.

Dalam cultural studies, perdebatan tentang literasi juga fokus pada tiga hal, yakni bagaimana literasi memengaruhi psikologi individu, organisasi sosial, dan reproduksi budaya. Apa yang akan terjadi pada generasi muda, jika mahasiswa yang dekat dengan melek baca-tulis saja tak lagi mentradisikan membaca dan menulis?
Indikator Kualitas Rendahnya tradisi literasi mahasiswa menjadikan mahasiswa sebagai pelaku pasif, penonton informasi. Meminjam istilah Baudrillard, penonton adalah sesosok objek yang tak memiliki jati diri yang hakiki, hanya “terminal” dari bermacam jaringan tanda yang berseliweran. Mereka dengan sukarela membuang identitas diri untuk bisa meraih sua¨tu kesatuan imajiner dengan “yang lain”. Penonton seperti itu disebut the silent majority, tak lebih dari sekadar mayoritas diam.

Itu berbeda dari proses membaca buku yang tentu lebih “sulit”, membutuhkan keaktifan untuk menelusuri teks yang tersaji di setiap halaman, mengolah, lalu menerjemahkan untuk mendapatkan persepsi tertentu.

Giddens dalam The Third Way merekomendasikan, pendidikan yang berkualitas merupakan syarat mutlak mencapai kemajuan pada era global. Untuk mencapai pendidikan berkualitas perlu perangkat dan pendukung pendidikan yang lengkap dan maju, seperti perpustakaan yang ideal dan professional serta sumber daya manusia yang profesional. Profesionalisme ditentukan oleh mutu mahasiswa, yaitu yang memiliki banyak informasi dan ilmu pengetahuan.

Kita memang tak dapat memastikan apa yang akan terjadi pada masa datang. Namun setidaknya energi kepenulisan dan semangat tetap bergelut di ruang baca perlu dijaga. Sebab, karena dari mereka yang terus membaca kita sering mendapatkan ide segar, pemikiran cemerlang, dan gagasan yang menggugah. (51)

- Dewi Wulansari, mahasiswi Sastra Inggris Undip, anggota Komunitas Tinta Emas
Dimuat di Suara Merdeka tanggal 12 Maret 2011