Selasa, 31 Mei 2011

Kalah Dengan Internet

KALAH DENGAN INTERNET
Oleh: Dewi Wulansari (Sastra Inggris UNDIP)
Apa sich yang tidak bisa ditemukan dan dijawab oleh internet? Dari persoalan sederhana sampai yang rumit semua tersedia di internet, tinggal klik semua kebutuhan informasi maupun ilmu yang kita butuhkan sudah ada. Internet telah membentuk budaya praktis/instant di kalangan mahasiswa sebagai pengguna terdekat dan terbesar dari teknologi ini. Budaya instant ini akhirnya menggeser budaya research di kalangan mahasiswa dalam mencari informasi dan pengumpulan data-data. Padahal melalui penelitian, mahasiswa terjun langsung ke lapangan, mendekati sumber masalah dan menemukan pengalaman-pengalaman yang nantinya akan memperkaya khasanah keilmuan dan pengetahuan.
Tentunya akan berbeda jika informasi/pengetahuan yang diperoleh dari internet, mahasiswa hanya membaca saja tanpa disertai pengetahuan dan proses pembelajaran yang lebih dalam. Pengalaman di lapangan membuat mahasiswa kaya akan eksperimen dan kaya akan metode-metode. Yang nantinya sangat membantu mahasiswa untuk merumuskan persoalan-persoalan keilmuan maupun kehidupan. Sayangnya mahasiswa sekarang lebih memilih internet sebagai sarana untuk pengembangan keilmuannya yang praktis dibandingkan dengan penelitian yang membutuhkan pengkajian yang komprehensif, dan waktu yang lama.

Note: termuat dalam rubrik Argumentasi Kompas Kampus.dengan tema Kenapa Mahasiswa Malas Menjadi Peneliti...alhamdulillah dapat jaket Kompas...keren bo...he3..

Si Pembawa Mimpi

SI PEMBAWA MIMPI
Oleh: Dewi Wulansari

Bercerita tentang capung mengingatkanku kembali pada masa kecilku. Masa kecil yang penuh dengan petualangan dan impian. Dulu, aku dan teman-temanku suka bermain di sawah atapun di lapangan. Kami bermain layang-layang, mengejar kupu-kupu dan menangkapi capung. Biasanya itu kami lakukan di sore hari. Kami suka menangkapi capung karena menurut cerita para orang tua di desa kami, siapa saja yang bisa menangkap capung maka kelak cita-citanya akan tercapai.
Dari situlah aku dan kawan-kawanku selalu pergi ke sawah di sore hari dan berlomba-lomba menangkap capung. Oh iya, sebagian besar wilayah di desaku adalah sawah, jika dilihat dari kejauhan, desaku seolah-olah berada di tengah-tengah hamparan sawah, sepanjang mata memandang hanya sawah yang terlihat begitu luasnya. Sehingga tak heran jika capung-capung mudah sekali ditemukan di desaku.
Menangkap capung bagi kami adalah permainan yang paling seru dan menyenangkan karena tidak sembarang orang bisa menangkap capung. Dibutuhkan keahlian, kecermatan, ketelitian dan kesabaran. Kami berlarian mengejar capung-capung yang hinggap dan berterbangan di pematang sawah. Ada beraneka warna dan jenis capung yang beterbangan, kami jadi bingung memilih capung mana yang akan kami tangkap. Kesulitannya adalah kita susah sekali mendekati capung, sampai-sampai terkadang kita harus menahan napas sejenak dan melangkah pelan-pelan agar si capung tidak terbang lagi. Eh…baru mau ditangkap ekor si capung, tiba-tiba capung itu sudah terbang lagi, seakan-akan dia tahu kalau sedang diburu. Hufffh…benar-benar susah menangkap capung, binatang bersayap tipis yang gesitnya luar biasa..
Kamipun terus mengejar dan mengejar si capung tiada lelah sama seperti capung yang tidak pernah lelah untuk terbang. Akhirnya setelah berjuang mengejar si capung, kami pun berhasil menangkap capung, meskipun tak banyak. Dan perlombaanpun seg era dimulai. Siapa yang bisa mendapat capung terbagus dan terbanyak adalah pemenangnya. Kami segera memegang capung masing-masing untuk dipamerkan kecantikannya. Yang sering menang dalam perlombaan ini adalah si Desi, karena dia pandai sekali memilih capung yang cantik. Setelah terpilih pemenangnya, kami mengumpulkan capung-capung yang kami tangkap dan kemudian kami melakukan permintaan doa bersama kepada capung-capung itu, semoga impian dan harapan kami terwujud di masa yang akan datang. Kami yakin bahwa capung-capung itu akan menyampaikan doa kami dengan cepat kepada Tuhan. Selesai berdoa kamipun melepaskan capung-capung yang kami tangkap, agar segera terbang ke langit dan bertemu Tuhan untuk menyampaikan permintaan kami. Kami sering menjuluki capung sebagai “Sang Pembawa Mimpi”.
Sungguh hal yang konyol tapi romantis, kami saat itu ternyata terlalu berharap. Setelah dewasa baru kami sadar bahwa harapan itu bukanlah sekumpulan sayap capung yang tipis dan mudah patah. Tapi harapan itu seperti halnya saat kami mengejar capung itu, kami harus memilih, berlari, belajar menangkap, berlatih sabar dan kemudian baru harapan itu terwujud. Bagiku harapan itu seperti tipisnya sayap capung yang terbang namun tak tampak menggunakan sayap. Begitulah harapan, tak tampak namun terbang mengangkasa. Mungkin sebenarnya, para orang tua dahulu ingin mengajarkan kepada generasi penerusnya untuk selalu membangun mimpi dan mewujudkannya, mereka menggunakan capung sebagai sarana pembelajaran bagi jiwa kanak-kanak kami yang penuh petualangan dan penuh impian. Dengan usaha, doa, dan kesabaran setiap mimpi itu akan terwujud bukan pada si perantaranya “capung”.
Ternyata permainan kanak-kanak itu ada banyak nilai filosofisnya dan juga membuat kita terlatih akan satu hal yaitu mengenal kehidupan. Kehidupan itu bisa kita lihat dari kehidupan orang lain dan mahkluk lain, dari sanalah kita belajar banyak hal. Mencintai binatang, lingkungan, dan bagaimana bersahabat baik dengan siapapun.
Namun cerita itu akan selalu ada bagiku tentang “si capung pembawa mimpi”. Tentang mimpiku yang kutitipkan kepada si capung, saat ini ada sebagian yang terwujud dan sebagian lainnya masih harus kuperjuangkan. Ha…ha…mungkin pada saat itu terlalu banyak mimpi yang kutitipkan kepadanya, sehingga baru sebgian saja yang tercapai. Atau mungkin si capung lupa, apa saja yang telah kutitipkan padanya…he…he…mungkin juga karena mimpiku tak pernah sama dari waktu ke waktu, sehingga si capung kebingungan dengan permintaanku, sebenarnya apa yang kuinginkan dan apa mimpiku? Dan aku selalu lebih yakin bahwa Tuhan tak pernah lupa dan lebih pandai dari pada si capung, bukankah si capung cuman perantara Tuhan, jadi kalau si capung lupa atau lagi malas menyetorkan mimpi manusia itu bisa kumaklumi, capung hanya ciptaan Tuhan yang juga tidak sempurna he…he…he….
Hal yang paling aku sayangkan adalah filosofi tentang capung itu tidak lagi berarti bagi anak-anak zaman sekarang dan juga populasi capung semakin berkurang karena orang-orang sudah tidak peduli lagi dengan lingkungan. Sekarang jarang sekali kulihat capung-capung yang beterbangan di desaku, jarang sekali anak-anak yang bermain dengan capung. Mereka lebih suka nonton TV, main game, dan bermain dengan setumpuk mainan buatan. Mereka tak belajar lagi tentang harapan dan mimpi, mungkin bagi anak-anak sekarang harapan dan mimpi yang mereka mengerti adalah capung-capung modern. Capung-capung yang mengantarkan impian mereka bukan lagi ke Tuhan tetapi pada benda-benda (materialistis) sehingga mereka tidak pernah menghargai kehidupan mahkluk lain. Tak peduli lagi apakah capung “si pembawa mimpi” itu ada ataupun tiada.


Semarang, 20 April 2011

Catatan: Sebagai 14 karya pilihan yang dibukukan dalam Lomba Dempo Dragonfly...alhamdulillah...masuk 14 karya terpilih...

Senin, 14 Maret 2011

Hormaaaat....Graaak!

HORMAAAAT…GRAKK!
Oleh: Dewi Wulansari

Jika ingat kejadian itu, aku dan teman-temanku akan tertawa terpingkal-pingkal. Kejadian itu adalah hal terkonyol yang dilakukan Pak Sarwidi guru Pembina pramukaku di waktu SMP.
Saat itu aku ikut dalam anggota parmuka inti. Setiap anggota inti diwajibkan untuk mengikuti Pelatihan Dasar menjelang LT 2 (lomba tingkat Kabupaten). Pembina Pramuka kami mengusulkan Perkemahan Batu Seribu sebagai tempat diadakannya Pelatihan Dasar itu, usul tersebut disetujui oleh semua anggota inti pramuka, termasuk diriku. Perkemahan Batu Seribu merupakan tempat yang cocok untuk kami melatih kekuatan fisik dan mental, selain memiliki pemandangan yang indah, Batu Seribu juga asyik dijadikan tempat out bond karena peralatan halang rintangnya sudah tersedia.
Akhirnya kami memilih hari Sabtu dan Minggu di minggu pertama bulan April pada tahun 1995 untuk menyelenggarakan Pelatihan Dasar. Dalam rangakaian acara tersebut, kakak-kakak kelas tiga sebagai panitianya, dan kami sebagai pesertanya. Yang kami ketahui Pelatihan Dasar tersebut bertujuan untuk menggodok dan menguji mental, fisik, dan kesolidan tim kami.
Kami diwajibkan berangkat dengan menggunakan sepeda, perjalanan kami tempuh selama kurang lebih 1,5 jam dengan sepeda. Selama perjalanan keberangkatan tersebut diselingi dengan pos-pos halang rintang, namun yang diuji bukan fisik tapi berupa materi pertanyaan-pertanyaan tentang kepramukaan dan pengetahuan umum.
Sesampainya di sana, kami disuruh langsung mendirikan tenda dalam waktu 5 menit. Jika tidak berhasil maka kami akan diberi sangsi, biasanya kami akan dihukum scot jump atau push up 20 kali. Pelatihan di sini menuntut kami untuk berdisiplin dan bertindak cepat, bagiku pelatihan ini sama seperti latihan militer, salah sedikit saja akan dihukum.
Masing-masing regu diberi jadwal acara dan materi. Dan setiap session biasanya ketua regu dikumpulkan dulu untuk diberi pengarahan, baru setelah itu masing-masing ketua regu mengarahkan anak buahnya. Kami terdiri dari 4 regu, 2 regu putra dan 2 regu putri. Regu kami bernama Melati Sari Buana, nama regu inti pramuka di SMPku, sedang regu putranya bernama Elang Sangga Buana.
Oh ya…hampir lupa, pramuka selalu berkaitan dengan peluit dan kami harus hafal setiap peluit yang dibunyikan, karena setiap peluit memiliki tanda dan perintah yang berbeda, jika peluit berbunyi panjang dan tanpa henti, itu tandanya semua peserta harus berkumpul. Jika peluit berbunyi pendek-pendek itu tandanya perintah hanya untuk ketua regu yang berkumpul. Hal itu menyebabkan kami sangat peka dengan bunyi peluit, selain sebagai perintah, peluit juga dipakai dalam sandi (morse).
Pelatihan itu membuat kami tegang, bosan dan stress karena terlalu banyaknya tekanan dari panitia. Apalagi kelompokku yang sering mendapat hukuman dari panitia.
Di Minggu pagi hari, pukul 05.30 WIB kami dikejutkan dengan bunyi peluit panjang. Kami semua terkejut dan kelabakan karena ada yang masih tidur, mandi, masak, makan, tapi karena itu sebuah perintah dengan berbagai keadaan kami pun berlari menuju panggilan peluit tersebut. Saat itu benar-benar kacau, tidak ada yang mengenakan baju pramuka yang lengkap dan benar, ada yang masih pakai baju tidur dengan membawa tongkat dan topi pramuka, ada yang memakai sandal jepit, ada yang rambutnya awut-awutan tak bersisir, yang lebih konyol ada yang berlari sambil tidur.
Dalam hatiku aku tertawa melihat itu semua, namun tertawaku kusimpan saja, karena tertawa itu mahal di pelatihan ini. Kami harus serius dan berdisiplin tinggi. Pada saat itu aku berpikir dan kemudian berbisik kepada temanku, Eni.
“En, ada apa? Kan belum saatnya apel pagi? Kenapa kita dikumpulkan?” Bisikku kepada Eni.
“Ststststtststts…tunggu saja perintahnya, aku juga tidak tahu. Lihat! Pak Sarwidi yang mengumpulkan kita, berarti memang ada instruksi penting.” Jawab Eni setengah berbisik kepadaku.
“Perhatian semuanya…Siaaaappppp…Grakkkk!” Instruksi pertama Pak Sarwidi dengan suara lantangnya untuk merapikan barisan kami dengan matanya yang melotot memperhatikan kami satu per satu.
Kami semua ketakutan, Pak Sarwidi sangat terkenal galak dan disiplin, kesalahan kecil saja bisa membuat kami terkena scot jump maupun lari mengelilingi lapangan 50 kali. Belum lagi kata-kata pedasnya yang menusuk hati. Kami semua segera merapikan barisan kami dan bersiap mendengar dan menjalankan instruksi berikutnya.
“Kepada…Sang Merah Putih…Hormaaaaaaaaattttttt….Grakkkkkkkk…!”
Segera tangan kami, kami gerakkan untuk memberi hormat ke arah tiang bendera yang berada di depan kami. Namun setelah kami semua melihat ke atas, suasana berubah menjadi gaduh dan tak terkendali. Meledaklah tawa kami semua.
Wakakkakkakakkakakak….wuaha…ha….ha….ha…..
Wakakakkakakkakakaak…wuaha…ha…ha…ha….
Wakakkakkakakkakakak…wuaha…ha….ha…ha…
Ternyata yang kami hormati bukan bendera Merah Putih, tapi celana dalam Pak Warsidi yang berwarna merah dan putih. Sungguh hal terkonyol dan tergokil yang pernah dilakukan oleh seorang Pembina. Pak Warsidi pun ikut tertawa bersama kami dan berkata kepada kami.
“Itu hadiah buat orang serius…hati-hati dengan orang serius! Wuaha…ha…ha….”
Semenjak saat itu, kami menganggap dan melihat beliau sebagai sosok yang berbeda, dan akhirnya kami menjadi dekat dengan beliau. Beliau Pembina tebaik kami yang mengantarkan regu pramuka inti sekolah kami juara sampai tingkat propinsi dan membuat kami mengenal indahnya tertawa.
Sejak saat itu juga aku selalu illfil jika melihat celana dalam yang dijemur. Namun, dibalik itu semua ada sebuah pelajaran yang berharga yang kudapat dan dijelaskan oleh Pak Warsidi, bahwa maksud dari hormat kepada celana merah putih itu adalah kita harus menjaga dan menghormati kehormatan bangsa dan diri kita sendiri, sehingga kita akan dihormati oleh orang dan bangsa lain. Nek yang terakhir ini agak improvasi sich…boleh disambungkan, boleh tidak…ha…ha….

Dengan tulisan ini aku mendapatkan juara favorit Lomba Cerita Lucu Statisfine Sekolah Tinggi Menulis Jogja.

Kultur Literasi

Kampus
12 Maret 2011
Kultur Literasi Mahasiswa

* Oleh Dewi Wulansari

UPAYA meningkatkan mutu pendidikan saat ini terus digalakkan. Namun sering terjadi kontradiksi antara harapan dan kenyataan. Kemajuan teknologi dan modernisasi semestinya meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi ternyata mutu pendidikan malah turun. Kualitas pendidikan di negeri ini belakangan jauh tertinggal dari negara-negara tetangga.

Melihat survei Times Higher Education Supplement (THES) 2006, perguruan tinggi Indonesia baru bisa menjebol deretan 250 yang diwakili Universitas Indonesia (UI) — di bawah prestasi Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) pada urutan ke-185. Tahun 2007, menurut survei THES dari 3.000 unversitas di dunia, ITB baru berada pada urutan 927 sekaligus jadi perguruan tinggi top di Indonesia.

Mutu rendah pendidikan dipengaruhi antara lain oleh kultur literasi yang rendah di kalangan mahasiswa. Mahasiswa penyumbang terbesar kultur literasi di negara kita. Namun seiring perjalanan waktu, tradisi membaca mahasiswa beralih ke tradisi lisan. Mahasiswa kini cenderung mencari informasi melalui media elektronik. Mahasiswa lebih suka mendapat informasi yang “dibacakan”, berlaku sebagai “pembaca pasif” yang dengan tenang mengunyah renyah segala persepsi yang dikemukakan televisi. Belum lagi budaya nongkrong di kafe, mal, nonton film makin meminggirkan mahasiswa dari tradisi membaca.

Fenomena itu disebut Ignas Kleden sebagai kelisanan sekunder. Budaya kelisanan sekunder menggambarkan kemampuan baca-tulis tak terlalu dibutuhkan karena sumber informasi lebih bersifat audiovisual.
Mahasiswa sebagai sumber daya manusia terdidik dan terpelajar seharusnya lebih unggul sebagai inisiator, motivator, dan kreator. Dan, usaha meningkatkan pendidikan berkualitas berawal dari sumber daya manusia yang berilmu dan mampu menyerap setiap informasi yang berkembang. Itu semua diperoleh melalui membaca.
Literasi Literasi merupakan istilah yang memiliki banyak turunan, sesuai dengan subjek. Literasi antara lain memiliki turunan literasi media, literasi teknologi, literasi komputer, literasi politik, new literacy studies. Literasi semula mengacu ke kemampuan membaca dan menulis, tetapi kini definisi itu tak mencukupi. Apalagi jika dikontekskan denggan teknologi tinggi yang menjadi ciri tahun 2000-an. Jadi standar literasi pun beragam, sesuai yang mendefinisikan, tergantung pada banyak faktor yang memengaruhi, misalnya masyarakat, fasilitas, kebutuhan, dan fungsinya.

Amerika Serikat, misalnya, menetapkan tiga standar area literasi bagi kaum dewasa muda. Pertama, literasi prosa yang berhubungan dengan mambaca dan kemampuan menafsirkan. Kedua, literasi dokumen yang mensyaratkan mampu mengidentifikasi dan menggunakan informasi dalam beragam bentuk dokumen. Ketiga, literasi kuantitatif yang melibatkan penggunaan angka pada isi informasi pada barang cetakan.

Dalam cultural studies, perdebatan tentang literasi juga fokus pada tiga hal, yakni bagaimana literasi memengaruhi psikologi individu, organisasi sosial, dan reproduksi budaya. Apa yang akan terjadi pada generasi muda, jika mahasiswa yang dekat dengan melek baca-tulis saja tak lagi mentradisikan membaca dan menulis?
Indikator Kualitas Rendahnya tradisi literasi mahasiswa menjadikan mahasiswa sebagai pelaku pasif, penonton informasi. Meminjam istilah Baudrillard, penonton adalah sesosok objek yang tak memiliki jati diri yang hakiki, hanya “terminal” dari bermacam jaringan tanda yang berseliweran. Mereka dengan sukarela membuang identitas diri untuk bisa meraih sua¨tu kesatuan imajiner dengan “yang lain”. Penonton seperti itu disebut the silent majority, tak lebih dari sekadar mayoritas diam.

Itu berbeda dari proses membaca buku yang tentu lebih “sulit”, membutuhkan keaktifan untuk menelusuri teks yang tersaji di setiap halaman, mengolah, lalu menerjemahkan untuk mendapatkan persepsi tertentu.

Giddens dalam The Third Way merekomendasikan, pendidikan yang berkualitas merupakan syarat mutlak mencapai kemajuan pada era global. Untuk mencapai pendidikan berkualitas perlu perangkat dan pendukung pendidikan yang lengkap dan maju, seperti perpustakaan yang ideal dan professional serta sumber daya manusia yang profesional. Profesionalisme ditentukan oleh mutu mahasiswa, yaitu yang memiliki banyak informasi dan ilmu pengetahuan.

Kita memang tak dapat memastikan apa yang akan terjadi pada masa datang. Namun setidaknya energi kepenulisan dan semangat tetap bergelut di ruang baca perlu dijaga. Sebab, karena dari mereka yang terus membaca kita sering mendapatkan ide segar, pemikiran cemerlang, dan gagasan yang menggugah. (51)

- Dewi Wulansari, mahasiswi Sastra Inggris Undip, anggota Komunitas Tinta Emas
Dimuat di Suara Merdeka tanggal 12 Maret 2011

Minggu, 20 Februari 2011

Kenapa Harus Makan Beras?

KENAPA HARUS MAKAN BERAS?
Oleh : Dewi Wulansari (Mahasiswi Sastra Inggris UNDIP)


Sejak penetapan beras sebagai bahan utama pangan di Indonesia oleh Presiden Soeharto kala itu, membawa dampak yang merugikan lingkungan dan manusia. Kebijakan tersebut membuat seluruh wilayah dan masyarakat Indonesia dipaksa mengkonsumsi beras (nasi) sebagai makanan pokok sehari-hari, padahal dahulu di tiap wilayah memiliki makanan pokok yang berbeda misalnya, sagu di Papua dan Maluku, Jagung di Madura dan Nusa Tenggara Timur. Akhirnya dengan pemberlakuan kebijakan itu, masyarakat Indonesia dari ujung barat sampai timur wilayah Indonesia hanya mengenal beras (nasi) sebagai bahan pokok makan sehari-hari. Sampai ada pepatah yang mengatakan : “Bukan orang Indonesia kalau tidak makan nasi.” Atau “Belum makan jika belum makan nasi”.
Kebijakan ini memaksa masyarakat yang tadinya mengenal jagung atau sagu sebagai makanan pokok mereka, beralih memakan nasi. Begantungnya negara kita akan beras (nasi) menyebabkan negara kita yang dulu sebagai negara pengekspor beras menjadi negara pengimpor beras. Ditambah nasib petani kita yang selalu bergantung pada tanaman padi, membuat mereka selalu merugi karena harga pupuk untuk tanaman padi semakin mahal. Sementara para petani tidak dapat beralih ke tanaman pangan yang lain.
Ironisnya lagi adalah dari kebijakan tersebut menjadikan wilayah di seluruh Indonesia bergantung pada beras yang berasal dari tanaman padi. Sehingga untuk memenuhi konsumsi kebutuhan akan beras, masyarakat kita lebih memilih menanam padi sebagai komoditas pertanian utama dibandingkan dengan komoditas tanaman pangan lainnya. Sayangnya, tidak semua wilayah di Indonesia cocok ditanami padi, meski bisa ditanami padi hasil maupun kualitasnya akan lebih rendah dari pada tanah yang cocok ditanami padi. Hal ini membuat lumbung-lumbung padi hanya terkonsentrasi di wilayah-wilayah penghasil padi. Akhirnya wilayah yang tidak cocok ditanami padi diusahakan ditanami padi. Timbullah dilematis lingkungan. Merubah lingkungan kondisi alami tanah (rawa, hutan, bukit, lembah dll) menjadi tanah persawahan untuk ditanami padi. Dan tanah yang cocok ditanami padi, semakin diintensifkan dalam menghasilkan padi, sehingga merusak kesuburan tanah karena tidak adanya pergantian vegetasi.
Perubahan tanah akibat pengolahan tanah tersebut menyebabkan perubahan lingkungan baik air, tanah, tumbuhan dan makhluk hidup lainnya. Dari perubahan itu menyebabkan rusaknya sebuah ekosistem, sehingga yang ada hanya satu ekosistem.
Seharusnya ada diversifikasi pangan yang membuat masyarakat Indonesia tidak tergantung pada beras saja, harus ada alternatif bahan pangan lainnya. Sehingga eksploitasi terhadap tanah untuk lahan pertanian padi bisa diminimalisir, petani tidak dirugikan karena hanya memiliki satu jenis tanaman pangan, dan lingkungan bisa terjaga ekologinya.




Yogyakarta, 19 Februari 2011
www.vhrmedia.com

Minggu, 13 Februari 2011

Internet Semakin Dekat Atau Menjauhi Manusia

Oleh: Dewi Wulansari (Mahasiswi Sastra Inggris UNDIP)

Internet khususnya situs jejaring sosial di dalamnya, mampu menjadikan manusia bebas mengungkapkan dirinya. Menurut Ludwig Feurbach, kata menjadikan manusia bebas. Siapa tak mampu mengungkapkan diri, ia tak lebih dari seorang budak. Bicara merupakan tindak kebebasan, kata adalah kebebasan itu sendiri. Jejaring sosial lewat internet seperti friendster, facebook, twitter, YM, skypy, blog, pluk dll mampu mengakomodir kebebasan berkata. Yang mana kebebasan berkata merupakan salah satu eksistensi manusia.
Internet dengan situs-situs jejaring sosialnya telah berhasil menangkap kebutuhan-kebutuhan manusia yang paling mendasar yaitu eksistensi dan bersosialisasi. Meskipun, sebenarnya eksistensi yang ditawarkan oleh jejaring sosial itu hanyalah keberadaan bentuk/wujud semunya. Namun, hal tersebut mampu membuat kita menunjukkan diri dalam sisi-sisi yang berbeda, bisa lewat tulisan, foto, komentar, chat dll. Sosialisasipun menjadi lebih mudah dan praktis bahkan ekonomis, sehingga permasalahan jarak, waktu, tenaga, dan biaya bisa terminimalisir. Internet telah membuat kedekatan baik secara emosional, kultural dan personal diantara pribadi satu dengan pribadi yang lain. Jejaring sosial-pun bisa termanfaatkan untuk pencarian link (teman, usaha, karir, jodoh). Hal ini menunjukkan bahwa internet mampu mendekati kebutuhan manusia.
Namun mesin dan penemuan baru ternyata tak bisa bicara apa-apa tentang manusia. Sehebat-hebatnya mesin dan pengetahuan, tetap tidak berpribadi. Kita tidak bisa melihat pribadi yang sesungguhnya dan sebenarnya hanya dengan melihatnya dari jejaring sosial. Karena pribadi seseorang itu tidak hanya bisa dinilai dari kata, ucapan/ungkapan dan fotonya. Pribadi seseorang yang sebenarnya hanya bisa kita lihat dalam penampakan wujud dan peran aslinya dalam bereksistensi dan bersosialisasi di dunia nyata bukan dunia maya. Cara berseksistensi dan bersosialisasi melalui internet, itu seperti kita bereksistensi dan bersosialisai dengan mesin. Yang mana kita akan sangat bergantung pada mesin, malas dalam bertindak dan belajar malas bertindak.
Jika cara bereksistensi dan bersosialisai dengan melalui dunia maya (internet) menjadi budaya, lama-kelamaan semua hal akan beralih dan terselesaikan lewat dunia maya. Ajang pertemuan fisik berpindah ke pertemuan maya, empati dan simpati hanya sebatas ucapan dan ungkapan bukan lagi tindakan. Interaksi yang terjalin dan yang diperoleh bukan lagi hubungan atau interaksi yang dalam/akrab. Hal tersebut manandakan hilangnya sifat-sifat manusiawi manusia yang peduli terhadap lingkungan dan sesamanya. Berkumpul, pertemuan fisik (silaturahmi, diskusi) yang semua hal itu dapat mengasah kepekaan sosial maupun kepekaan emosional semakin luntur karena kebanyakan manusia beralih pada pertemuan maya. Dampak yang paling terlihat adalah semakin tingginya sifat individualis dari seseorang.
Maka dari itu, dalam memanfaatkan teknologi baru seharusnya disertai dengan kebijakan dan pengetahuan. Sehingga, dapat mendatangkan manfaat dan sesuai dengan kebutuhan tanpa mengurangi nilai-nilai dan sifat-sifat manusiawi manusia. Teknologi dimanfaatkan untuk membantu kebutuhan dan kinerja manusia tanpa menyamakan manusia sebagai mesin yang tidak memiliki nilai rasa.