Selasa, 31 Mei 2011

Kalah Dengan Internet

KALAH DENGAN INTERNET
Oleh: Dewi Wulansari (Sastra Inggris UNDIP)
Apa sich yang tidak bisa ditemukan dan dijawab oleh internet? Dari persoalan sederhana sampai yang rumit semua tersedia di internet, tinggal klik semua kebutuhan informasi maupun ilmu yang kita butuhkan sudah ada. Internet telah membentuk budaya praktis/instant di kalangan mahasiswa sebagai pengguna terdekat dan terbesar dari teknologi ini. Budaya instant ini akhirnya menggeser budaya research di kalangan mahasiswa dalam mencari informasi dan pengumpulan data-data. Padahal melalui penelitian, mahasiswa terjun langsung ke lapangan, mendekati sumber masalah dan menemukan pengalaman-pengalaman yang nantinya akan memperkaya khasanah keilmuan dan pengetahuan.
Tentunya akan berbeda jika informasi/pengetahuan yang diperoleh dari internet, mahasiswa hanya membaca saja tanpa disertai pengetahuan dan proses pembelajaran yang lebih dalam. Pengalaman di lapangan membuat mahasiswa kaya akan eksperimen dan kaya akan metode-metode. Yang nantinya sangat membantu mahasiswa untuk merumuskan persoalan-persoalan keilmuan maupun kehidupan. Sayangnya mahasiswa sekarang lebih memilih internet sebagai sarana untuk pengembangan keilmuannya yang praktis dibandingkan dengan penelitian yang membutuhkan pengkajian yang komprehensif, dan waktu yang lama.

Note: termuat dalam rubrik Argumentasi Kompas Kampus.dengan tema Kenapa Mahasiswa Malas Menjadi Peneliti...alhamdulillah dapat jaket Kompas...keren bo...he3..

Si Pembawa Mimpi

SI PEMBAWA MIMPI
Oleh: Dewi Wulansari

Bercerita tentang capung mengingatkanku kembali pada masa kecilku. Masa kecil yang penuh dengan petualangan dan impian. Dulu, aku dan teman-temanku suka bermain di sawah atapun di lapangan. Kami bermain layang-layang, mengejar kupu-kupu dan menangkapi capung. Biasanya itu kami lakukan di sore hari. Kami suka menangkapi capung karena menurut cerita para orang tua di desa kami, siapa saja yang bisa menangkap capung maka kelak cita-citanya akan tercapai.
Dari situlah aku dan kawan-kawanku selalu pergi ke sawah di sore hari dan berlomba-lomba menangkap capung. Oh iya, sebagian besar wilayah di desaku adalah sawah, jika dilihat dari kejauhan, desaku seolah-olah berada di tengah-tengah hamparan sawah, sepanjang mata memandang hanya sawah yang terlihat begitu luasnya. Sehingga tak heran jika capung-capung mudah sekali ditemukan di desaku.
Menangkap capung bagi kami adalah permainan yang paling seru dan menyenangkan karena tidak sembarang orang bisa menangkap capung. Dibutuhkan keahlian, kecermatan, ketelitian dan kesabaran. Kami berlarian mengejar capung-capung yang hinggap dan berterbangan di pematang sawah. Ada beraneka warna dan jenis capung yang beterbangan, kami jadi bingung memilih capung mana yang akan kami tangkap. Kesulitannya adalah kita susah sekali mendekati capung, sampai-sampai terkadang kita harus menahan napas sejenak dan melangkah pelan-pelan agar si capung tidak terbang lagi. Eh…baru mau ditangkap ekor si capung, tiba-tiba capung itu sudah terbang lagi, seakan-akan dia tahu kalau sedang diburu. Hufffh…benar-benar susah menangkap capung, binatang bersayap tipis yang gesitnya luar biasa..
Kamipun terus mengejar dan mengejar si capung tiada lelah sama seperti capung yang tidak pernah lelah untuk terbang. Akhirnya setelah berjuang mengejar si capung, kami pun berhasil menangkap capung, meskipun tak banyak. Dan perlombaanpun seg era dimulai. Siapa yang bisa mendapat capung terbagus dan terbanyak adalah pemenangnya. Kami segera memegang capung masing-masing untuk dipamerkan kecantikannya. Yang sering menang dalam perlombaan ini adalah si Desi, karena dia pandai sekali memilih capung yang cantik. Setelah terpilih pemenangnya, kami mengumpulkan capung-capung yang kami tangkap dan kemudian kami melakukan permintaan doa bersama kepada capung-capung itu, semoga impian dan harapan kami terwujud di masa yang akan datang. Kami yakin bahwa capung-capung itu akan menyampaikan doa kami dengan cepat kepada Tuhan. Selesai berdoa kamipun melepaskan capung-capung yang kami tangkap, agar segera terbang ke langit dan bertemu Tuhan untuk menyampaikan permintaan kami. Kami sering menjuluki capung sebagai “Sang Pembawa Mimpi”.
Sungguh hal yang konyol tapi romantis, kami saat itu ternyata terlalu berharap. Setelah dewasa baru kami sadar bahwa harapan itu bukanlah sekumpulan sayap capung yang tipis dan mudah patah. Tapi harapan itu seperti halnya saat kami mengejar capung itu, kami harus memilih, berlari, belajar menangkap, berlatih sabar dan kemudian baru harapan itu terwujud. Bagiku harapan itu seperti tipisnya sayap capung yang terbang namun tak tampak menggunakan sayap. Begitulah harapan, tak tampak namun terbang mengangkasa. Mungkin sebenarnya, para orang tua dahulu ingin mengajarkan kepada generasi penerusnya untuk selalu membangun mimpi dan mewujudkannya, mereka menggunakan capung sebagai sarana pembelajaran bagi jiwa kanak-kanak kami yang penuh petualangan dan penuh impian. Dengan usaha, doa, dan kesabaran setiap mimpi itu akan terwujud bukan pada si perantaranya “capung”.
Ternyata permainan kanak-kanak itu ada banyak nilai filosofisnya dan juga membuat kita terlatih akan satu hal yaitu mengenal kehidupan. Kehidupan itu bisa kita lihat dari kehidupan orang lain dan mahkluk lain, dari sanalah kita belajar banyak hal. Mencintai binatang, lingkungan, dan bagaimana bersahabat baik dengan siapapun.
Namun cerita itu akan selalu ada bagiku tentang “si capung pembawa mimpi”. Tentang mimpiku yang kutitipkan kepada si capung, saat ini ada sebagian yang terwujud dan sebagian lainnya masih harus kuperjuangkan. Ha…ha…mungkin pada saat itu terlalu banyak mimpi yang kutitipkan kepadanya, sehingga baru sebgian saja yang tercapai. Atau mungkin si capung lupa, apa saja yang telah kutitipkan padanya…he…he…mungkin juga karena mimpiku tak pernah sama dari waktu ke waktu, sehingga si capung kebingungan dengan permintaanku, sebenarnya apa yang kuinginkan dan apa mimpiku? Dan aku selalu lebih yakin bahwa Tuhan tak pernah lupa dan lebih pandai dari pada si capung, bukankah si capung cuman perantara Tuhan, jadi kalau si capung lupa atau lagi malas menyetorkan mimpi manusia itu bisa kumaklumi, capung hanya ciptaan Tuhan yang juga tidak sempurna he…he…he….
Hal yang paling aku sayangkan adalah filosofi tentang capung itu tidak lagi berarti bagi anak-anak zaman sekarang dan juga populasi capung semakin berkurang karena orang-orang sudah tidak peduli lagi dengan lingkungan. Sekarang jarang sekali kulihat capung-capung yang beterbangan di desaku, jarang sekali anak-anak yang bermain dengan capung. Mereka lebih suka nonton TV, main game, dan bermain dengan setumpuk mainan buatan. Mereka tak belajar lagi tentang harapan dan mimpi, mungkin bagi anak-anak sekarang harapan dan mimpi yang mereka mengerti adalah capung-capung modern. Capung-capung yang mengantarkan impian mereka bukan lagi ke Tuhan tetapi pada benda-benda (materialistis) sehingga mereka tidak pernah menghargai kehidupan mahkluk lain. Tak peduli lagi apakah capung “si pembawa mimpi” itu ada ataupun tiada.


Semarang, 20 April 2011

Catatan: Sebagai 14 karya pilihan yang dibukukan dalam Lomba Dempo Dragonfly...alhamdulillah...masuk 14 karya terpilih...